Dr. Sofyan Sitompul, S.H., M.H. – Hakim Agung Kamar Pidana
Pengantar
Peradilan sering disebut benteng terakhir penegakan hukum namun benteng tersebut seringkali diterobos oleh kepentingan pribadi oknum penegak hukum, pihak berperkara, dan masyarakat umum. Upaya menerobos benteng keadilan dapat dibagi menjadi dua kriteria yakni pertama, Kehilangan Integritas Hakim karena faktor materi maupun alasan lainnya yang bertentangan dengan prinsip Independence Of The Judiciary sehingga mengorbankan rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Kedua, Kehilangan Rasa Hormat terhadap lembaga peradilan, karena kurangnya kesadaran hukum, pola budaya hukum dan lemahnya sistem protokol persidangan dan keamanan.
Protokol persidangan dan keamanan merupakan sub bagian dari sistem peradilan yang mempengaruhi meningkatnya kepercayaan publik (Public Trust), wibawa dan martabat peradilan. Public Trust dapat diukur melalui statistik jumlah perkara tertentu yang diajukan ke pengadilan dan berdasarkan persepsi masyarakat mengenai peradilan sedangkan wibawa dan martabat peradilan merupakan wujud nyata keadaan dan pelayanan peradilan kepada masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[1], wibawa memiliki arti pembawaan untuk dapat menguasai dan mempengaruhi serta dihormati orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik.
Wibawa peradilan dimulai pada saat seseorang akan memasuki wilayah pengadilan, jadi ketika gedung pengadilan terlihat seperti bangunan tua tidak terurus maka dapat muncul persepsi negatif soal peran pengadilan mewujudkan keadilan. Setelah masuk wilayah pengadilan dan masuk ruang sidang maka perlu adanya protokol persidangan dan keamanan yang baik sebagaimana termuat lengkap dalam Perma 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan.
Keberadaan Perma ini, sejalan dengan maksud Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menegaskan “Demi menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu pula dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai “Contempt of Court “.
Rumusan penjelasan Undang-Undang Mahkamah Agung tersebut menghendaki adanya pengaturan khusus mengenai kualifikasi dan sanksi bagi Contempt Of Court, selain yang telah diatur secara umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Menurut pakar hukum, Contempt of court adalah adanya perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan, kesemuanya berasal dari pengembangan kasus dan doktrin yang meliputi sub judice rule (usaha untuk mempengaruhi hasil dari suatu pemeriksaan peradilan), disobeying a court order (tidak mematuhi perintah pengadilan), scandalizing in court (skandal dalam peradilan) dan misbehaving in court (tidak berkelakuan baik dalam peradilan baik melalui sikap atau ucapannya).[2]
Upaya mencegah misbehaving in court akan mempengaruhi perubahan pola budaya hukum di pengadilan, misalnya larangan pengunjung berbicara di ruang persidangan akan mencegah siap acuh pada saat berada di ruang sidang sehingga wibawa peradilan terjaga. Kualifikasikan misbehaving in court diatur dalam ketentuan Pasal 4 Perma 5 Tahun 2020 “Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 ayat (4), ayat (5), ayat (7), ayat (8), ayat (9), ayat (10), ayat (11), ayat (12), ayat (14), ayat (15), ayat (16), ayat (18) dan ayat (19) serta Pasal 3 ayat (5), ayat (7), ayat (10), dan ayat (12) dapat dikualifikasikan sebagai penghinaan terhadap Pengadilan”. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran tersebut akan diuraikan pada bagian selanjutnya.
Protokol Persidangan dan Keamanan
Keberadaan protokol persidangan dan keamanan sejatinya merupakan implementasi secara rinci tata tertib yang terdapat dalam sejumlah peraturan perundang-undangan maupun norma kesopanan secara umum untuk mengatur perilaku dan tindakan orang yang hadir di persidangan serta pedoman yang mengatur keadaan bebas dari bahaya yang memberikan perlindungan kepada Hakim, Aparatur Pengadilan dan Masyarakat yang hadir di Pengadilan, misalnya di dalam undang-undang kekuasaan kehakiman diatur bahwa “Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman”[3].
Jaminan keamanan bagi hakim pada saat menjalankan tugas di ruang sidang maupun jaminan keamanan pada saat berada di luar pengadilan selama ini dilakukan melalui koordinasi dengan pihak kepolisian namun terhadap penanganan perkara terorisme, Hakim, keluarganya dan orang-orang yang tinggal serumah mendapatkan perlindungan dengan tiga tahap yakni sebelum, selama proses maupun sesudah proses pemeriksaan perkara terorisme.[4] Dalam praktik peradilan, tingkat ancaman yang serius juga dialami ketika Hakim mengadili perkara selain terorisme sehingga idealnya terdapat bentuk perlindungan yang sama bagi Hakim, keluarganya dan orang-orang yang tinggal serumah. Protokol keamanan memberikan ruang kepada pengadilan membentuk Forum Komunikasi Keamanan yang dapat menjembatani kebutuhan jaminan keamanan dan bentuk-bentuk perlindungan yang dapat dilakukan.
Protokol persidangan dan keamanan membagi Tata Tertib menjadi menjadi dua bentuk yakni Tata Tertib Umum dan Tata Tertib Persidangan yang di dalamnya menguraikan kualifikasi Contemp Of Court. Tata Tertib Umum meliputi akses masuk satu pintu, peran satuan pengamanan, sikap hormat, larangan melakukan aktiftas lain seperti berbicara, makan, menggunakan telefon seluler, keluar masuk ruang sidang tanpa alasan, larangan membawa tulisan/brosur, pakaian yang pantas, merusak sarana/prasarana, duduk sopan, dan hormat pada saat keluar/masuk ruang sidang.
Fakta adanya aparatur peradilan dan pengunjung sidang yang menggunakan telefon seluler jelas mengganggu hikmatnya persidangan sehingga aktifitas ini perlu diatur agar persidangan terjaga wibawa, martabat dan semua pihak yang hadir dipersidangan dapat dengan seksama mengikuti jalannya persidangan. Tata tertib semacam ini juga telah diterapkan di Mahkamah Konstitusi dengan lebih ketat, yang melarang telefon seluler dibawa ke ruang sidang sehingga sebelum masuk ruang sidang wajib dititipkan pada petugas. Demikian pula jenis tata tertib umum lainnya ditujukan untuk memastikan sikap dan perilaku yang mesti dipatuhi pengunjung sidang.
Tata Tertib Persidangan terdiri dari persidangan terbuka untuk umum, pembatasan pengunjung sidang, larangan membawa senjata berbahaya, pengambilan foto, rekaman video, larangan membuat kegaduhan, larangan pengunjung sidang untuk mendukung atau keberatan atau menghina/membahayakan para pihak di persidangan, ketentuan pakaian aparatur dipersidangan, dan menjalankan perintah hakim.
Kelalaian dalam pembatasan jumlah pengunjung sidang dapat membuat suasana persidangan menjadi gaduh dan tidak kondusif sehingga petugas keamanan memiliki peran untuk mengatur pengunjung di ruang sidang, termasuk memastikan pengunjung sidang tidak membawa senjata berbahaya. Fakta bahwa terjadinya serangan fisik terhadap hakim maupun terhadap pihak berperkara di ruang sidang mesti menjadi fokus semua pihak, agar peradilan semakin di yakini tempat mengadili yang terjamin keamanannya. Hakim/Ketua Majelis Hakim juga memiliki peran memberikan perintah agar siapa saja yang melakukan pelanggaran untuk dikeluarkan dari ruang sidang tanpa membeda-bedakan pihak yang melakukan pelanggaran.
Alur protokol keamanan memiliki dua tujuan utama yakni pertama, upaya pencegahan melalui informasi larangan-larangan di lingkungan pengadilan, akses masuk 1 (satu) pintu yang pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan ketat, CCTV, jarak aman tempat duduk dengan pihak berperkara dan kedua, upaya perlindungan melalui sistem alarm/sirine yang digunakan untuk merespon situasi darurat, jalur evakuasi untuk Pengamanan dan Penyelamatan Hakim/Majelis, perintah hakim dipersidangan.
Sistem alarm/sirine merupakan salah satu hal baru dalam Perma 5 Tahun 2020 yang mesti diapresiasi karena sistem ini mampu mendeteksi keadaan darurat sehingga petugas keamanan dapat melakukan respon dan tindakan yang diperlukan. Pernah terjadi pengrusakan kantor pengadilan oleh massa yang menyebabkan sarana/prasarana rusak, juga membuat Hakim dan Aparatur Peradilan merasa terancam keselamatannya, maka dengan sistem alarm ini dapat diatur evakuasi dan bantuan keamanan dari pihak kepolisian.
Perma 5 Tahun 2020 juga mengatur pengambilan foto maupun rekaman video di ruang persidangan. Pengaturan tersebut bukan ditujukan untuk membatasi insan pers melaksanakan tugas jurnalistik namun menjaga substansi pemeriksaan perkara berjalan sesuai dengan hukum acara, misalnya merekam dan menyiarkan keterangan saksi/ahli dipersidangan dapat mencederai prinsip objektifitas keterangan saksi dan ahli yang akan diperiksa berikutnya. Persidangan yang ditampilkan sebagai suatu tontotan juga dapat membentuk atau menggiring opini masyarakat tentang salah benarnya pelaku tindak pidana yang pada akhirnya menggerus prinsip presumption of innocence. Jadi ada hak peradilan dan hak pers yang mesti dipahami secara berimbang agar tercipta harmoni dan saling mendukung satu dengan lainnya.
Penutup
Wibawa dan martabat peradilan menunjukkan tingkat peradaban suatu negara artinya wibawa dan martabat itu bukan saja dijaga oleh badan peradilan namun dijaga bersama oleh seluruh komponen bangsa. Aparat penegak hukum, pihak berperkara, masyarakat umum turut andil menjaga Rasa Hormat terhadap lembaga peradilan dengan mematuhi tata tertib umum di pengadilan dan tertib di persidangan. Tantangan dalam menerapkan Perma 5 Tahun 2020, jangan membuat kita ragu karena semua perubahan memiliki konsekuensi masing-masing, seperti ungkapan Ali Bin Abi Thalib, Angin tidak berhembus untuk menggoyangkan pepohonan, melainkan menguji kekuatan akarnya.
Oleh: Wigati Pujiningrum, S.H., M.H. (Hakim Yustisial/Asisten Hakim Agung pada Kamar Perdata)
Hukum dalam pembangunan mempunyai 4 fungsi yaitu hukum sebagai pemeliharaan ketertiban dan keamanan, sebagaimana Sunaryati Hartono mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Roscoe Pound dalam bukunya yang terkenal: An Introduction to the Philosophy of Law, yang menyatakan: “The first and simplest idea is that law exists in order to keep the peace in a given society, to keep the peace at all events and at any price. This is the conception of what may be called the stage of primitive law. Hukum juga sebagai sarana pembangunan, hukum sebagai sarana penegak keadilan dan hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat.
Hukum, institusi hukum dan sarjana hukum, memainkan peranan yang sangat penting untuk membawa perubahan kepada sistem norma-norma dan nilai-nilai baru dalam tiap tahap pembangunan. Agenda pemerintah saat ini adalah berupaya semaksimal mungkin untuk dapat memulihkan kondisi perekonomian secara bertahap dan berkesinambungan serta keluar dari keadaan yang sangat tidak menentu seperti saat sekarang ini.
Hukum muncul karena manusia hidup bermasyarakat. Hukum mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat dan juga mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban itu. Hukum perdata yang mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat disebut “hukum perdata material”, sedangkan hukum perdata yang mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban disebut “hukum perdata formal”. Hukum perdata formal lazim disebut hukum acara perdata.[1]
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, manusia adalah sentral. Manusia adalah penggerak kehidupan masyarakat karena manusia itu adalah pendukung hak dan kewajiban. Dengan demikian, hukum perdata materiel pertama kali menentukan dan mengatur siapakah yang dimaksud dengan orang sebagai pendukung hak dan kewajiban itu.
Keadaan hukum perdata di Indonesia dari dahulu sampai dengan sekarang tidak ada keseragaman (pluralisme). Setelah bangsa Indonesia merdeka dan sampai saat ini Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dikodifikasi tahun 1848 masih tetap dinyatakan berlaku di Indonesia. Adapun dasar hukum berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut adalah Pasal 1 Aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selengkapnya berbunyi “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”, selain itu, hukum tertulis (undang-undang) tidak pernah lengkap, jelas dan tuntas mengatur kehidupan masyarakat,[2] sehingga seringkali tertinggal di belakang perkembangan masyarakat, untuk itu undang-undang tersebut perlu selalu dikembangkan agar tetap aktual dan sesuai dengan jaman (up to date).
Untuk mengatasi kekurangan hukum tertulis tersebut, perlu mensiasati agar hal tersebut tidak terlalu tampak ke permukaan sehingga menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat. Peranan kekuasaan yudisial sangat dibutuhkan dalam hal mengurangi dampak-dampak buruk atas kekurangan dari Peraturan Perundang-Undangan. Hakim bukan sebagai corong dari peraturan perundang-undangan, namun hakim mampu menggali nilai-nilai keadilan di masyarakat, sehingga diharapkan apabila peraturan perundang-undangan tidak mampu memenuhi rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat maka peran hakim adalah mengembalikan rasa keadilan tersebut. Hal tersebut sejalan dengan mandat dari Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman yang menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim yang baik adalah hakim yang dapat mewujudkan rasa keadilan di tengah masyarakat walaupun tidak terdapat peraturan perundangan yang memadai. Namun prinsip sebagaimana disebut pada pasal 5 Undang-Undang Kehakiman sering disalahgunakan dengan mengubah tatanan hukum yang ada sehingga akibatnya kepastian hukum sangat susah untuk diperoleh.
Pelaksanaan dan perkembangan peraturan perundang-undangan terjadi melalui peradilan dengan putusan hakim. Apabila dikaitkan dengan pendapat Soetandyo Wignjosoebroto, maka pembaruan hukum melalui putusan hakim termasuk dalam kategori pembaruan hukum dalam arti law reform. Pembaruan substansi hukum dalam konteks ini, khususnya hukum tidak tertulis, dilakukan melalui mekanisme penemuan hukum sebagaimana yang ditetapkan oleh ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang memberikan kewenangan kepada hakim dan hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat terhadap permasalahan atau persoalan yang belum diatur, dalam arti belum ada pengaturannya dalam hukum tertulis atau dalam hal ditemui perumusan peraturan yang kurang jelas dalam hukum tertulis.[3]
Dalam salah satu penelitian hukum tentang peningkatan yurisprudensi sebagai sumber hukum yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional tahun 1991/1992 telah dikumpulkan beberapa definisi yurisprudensi, yaitu antara lain:
- Yurisprudensi, yaitu peradilan yang tetap atau hukum peradilan (Poernadi Poerbatjaraka dan Soerjono Soekanto);
- Yurisprudensi adalah ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh pengadilan (kamus Fockema Andrea);
- Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberi keputusan dalam soal yang sama (Kamus Fockema Andrea);
- Yurisprudensi diartikan sebagai rechtsgeleerheid rechtsspraak, rechtsopvatting gehudligde door de (hoogste) rechtscolleges, rechtslichamen blijklende uitgenomende beslisstingen (kamus koenen endepols);
- Yurisprudensi diartikan sebagai rechtsopvatting van de rechterlijke macht, blijkende uitgenomen beslisstingen toegepasrecht de jurisprudentie van de Hoge Raad (kamus van Dale);
Menurut R Soebekti, yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim atau pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi atau putusan-putusan Mahkamah Agung sendiri yang tetap.
Yurisprudensi mempunyai peranan dan sumbangan yang besar dalam pembangunan hukum nasional. Oleh karena itu, untuk mendukung Pembangunan Sistem Hukum Nasional yang dicita-citakan dan untuk (1) melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, (2) mengisi kekosongan hukum, (3) memberikan kepastian hukum; dan (4) mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum,[4] hakim mempunyai kewajiban untuk membentuk yurisprudensi terhadap masalah-masalah yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan atau telah diatur dalam peraturan perundang-undangan namun tidak lengkap atau tidak jelas, atau ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut memberikan suatu pilihan dan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.[5] Yurisprudensi itu dimaksudkan sebagai pengembangan hukum itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan hukum pencari keadilan. Konkritnya, melalui yurisprudensi tugas hakim menjadi faktor pengisi kekosongan hukum manakala undang-undang tidak mengatur atau telah ketinggalan jaman.[6]
Walaupun sistem penegakan hukum tidak didasarkan pada sistem precedent, tetapi hakim peradilan umum atau pengadilan tingkat lebih rendah berkewajiban untuk secara sungguh-sungguh mengikuti putusan Mahkamah Agung. Selain itu, para hakim wajib memberikan pertimbangan hukum yang baik dan benar dalam pertimbangan hukum putusannya, baik dari segi ilmu hukum, maupun dari segi yurisprudensi dengan mempertimbangkan putusan hakim yang lebih tinggi dan/atau putusan hakim sebelumnya. Dan apabila hakim ingin menyimpang dari yurisprudensi, maka hakim yang bersangkutan wajib memberi alasan dan pertimbangan hukum adanya perbedaan dalam fakta-fakta dalam perkara yang dihadapinya dibanding dengan fakta-fakta dalam perkara-perkara sebelumnya.
Pada tataran teoritis, untuk dapat dilakukan upaya Pembangunan Hukum Perdata Indonesia melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung, perlu dilakukan inventarisasi putusan pengadilan yang memenuhi unsur yurisprudensi yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh Mahkamah Agung, Pengadilan-pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tingkat Pertama, sehingga kepastian hukum dan usaha unifikasi hukum dapat terselenggara pula melalui badan-badan peradilan.
Putusan-putusan tersebut dijadikan yurisprudensi jika memenuhi sejumlah unsur. Pertama, putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturannya dalam undang-undang. Kedua, putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketiga, telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus suatu perkara yang sama. Keempat, putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan. Kelima, putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Kelayakan suatu yurisprudensi dapat menjamin adanya nilai kemanfaatan adalah putusan mengandung nilai terobosan dan putusan diikuti oleh hakim secara konstan sehingga menjadi yurisprudensi tetap yang memaksimalkan kepastian hukum. Apabila mengenai suatu persoalan sudah ada suatu yurisprudensi tetap, maka dianggap bahwa yurisprudensi itu telah melahirkan suatu peraturan hukum yang melengkapi undang-undang.Pemantapan asas-asas hukum pertama-tama bisa dilakukan dalam usaha pembentukan hukum nasional melalui proses perundang-undangan (legislation). Tetapi pada tahap penerapannya, asas-asas itu dimantapkan melalui yurisprudensi.
Yurisprudensi merupakan kebutuhan yang fundamental untuk melengkapi berbagai peraturan perundang-undangan dalam penerapan hukum karena dalam sistem hukun nasional memegang peranan sebagai sumber hukum. Tanpa yurisprudensi, fungsi dan kewenangan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman akan dapat menyebabkan kemandulan dan stagnan. Yurisprudensi bertujuan agar undang-undang tetap aktual dan berlaku secara efektif, bahkan dapat meningkatkan wibawa badan-badan peradilan karena mampu memelihara kepastian hukum, keadilan sosial, dan pengayoman.
Tanda tangan elektronik berfungsi sebagai alat untuk memverifikasi dan autentifikasi atas identitas penandatangganan sekaligus untuk menjamin keutuhan dan keautentikan dokumen. Tanda tangan elektronik mempresentasikan identitas penandatanganan yang diverifikasi berdasarkan data pembuatan tanda tangan elektronik dimana data pembuatan tanda tangan elektronik dibuat secara unik yang hanya merujuk kepada penandatanganan.
Sama dengan tanda tangan manual, tanda tangan elektronik bersifat unik yakni tanda tangan elektronik seseorang akan berbeda dengan tanda tangan orang lain. Tanda tangan elektronik merupakan kombinasi dari fungsi hash dan enkripsi dengan metode asimetrik. Fungsi hash merupakan fungsi satu arah dan akan menghasilkan nilai unik untuk setiap data yang dimasukkan. Oleh karena itu, jika ada perubahan satu bit saja pada konten dokumen maka nilai hash yang dihasilkan akan berbeda. Nilai hash kemudian di enkripsi menggunakan private key untuk selanjutnya nilai dari hasil enkripsi tersebut adalah nilai signature dari suatu dokumen. Format dokumen elektronik yang paling sering digunakan untuk tanda tangan elektronik adalah PDF (Portable Document Format). PDF yang telah ditandatanggani dengan tanda tangan elektronik dapat diverifikasi dengan berbagai aplikasi yaitu aplikasi Adobe Acrobat DC, modul verifikasi pada Web OSD, Aplikasi Panter Versi 2.0 dan Aplikasi Veryds
Selain mengidentifikasi dan menverifikasi siapa pengirim atau penandatangan dokumen secara elektronik juga untuk memastikan keutuhan dari dokumen tersebut atau tidak ada perubahan dalam pengiriman dokumen. Jaminan autentifikasi dapat dilihat dari adanya hash function dalam tanda tangan elektronik sehingga penerima data (recipient) dapat melakukan perbandingan hash value. Apabila hash value sama dan sesuai maka data tersebut benar-benar otentik dalam arti tidak pernah terjadi suatu tindak perubahan data pada saat pengiriman maka autentifikasi dapat terjamin. Namun apabila tidak sama atau terjadi perubahan hash value maka patut dicurigai telah terjadi modifikasi data.
Disinilah letak salah satu kelebihan tanda tangan elektronik dibandingkan tanda tangan manual dimana jika terjadi perubahan pada dokumen, apapun itu baik tulisan (walaupun hanya 1 karakter), ataupun metadata maka tanda tangan elektronik menjadi tidak lagi valid sehingga data atau dokumen lebih terjamin dari modifikasi oleh pihak yang tidak berwenang. Hal ini tentu saja lebih memudahkan dalam proses pembuktian dibandingkan dengan tanda tangan manual yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut di laboratorium forensik untuk membuktikan keasliannya. Selanjutnya mengenai kekuatan hukum dan akibat hukum, tanda tangan elektronik disamakan dengan tanda tangan manual sebagaimana dijamin dalam penjelasan Pasal 11 UU ITE. Maka Pasal 1869 jo Pasal 1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 1 Ordonansi 1867 No. 29 juga berlaku pada tanda tangan elektronik sehingga dengan diberi tanda tangan elektronik maka dokumen elektronik tersebut memilki kekuatan hukum. Dengan menandatangani, menunjukkan persetujuan penandatanggan atas informasi atau dokumen elektronik yang ditandatangganinya sekaligus menjamin kebenaran isi yang tercantum dalam tulisan tersebut.
Untuk dapat memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah maka tanda tangan elektronik harus memenuhi persyaratan dalam Pasal 11 ayat (1) UU ITE yaitu:
- Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penandatangan;
- Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan hanya berada dalam kuasa penandatangan
- Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatangganan dapat diketahui
- Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terakit dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatangganan dapat diketahui
- Terdapat cara tertentu yang dapat diapakai untuk mengindetifikasi siapa penandatangganannya; dan
- Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penadatangganan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkai.
Tanda tangan elektronik terbagi dua macam yaitu tanda tangan tersertifikasi dan tidak tersertifikasi. Tanda tangan yang tidak tersetifikasi mempunyai kekuatan pembuktian yang lemah dibandingkan tanda tangan yang tersertifikasi. Sertifikasi tanda tangan elektronik diterbitkan oleh jasa penyelenggara sertifikasi elektronik dan dibuktikan dengan sertifikat elektronik. Penyelenggara sertifikat elektronik terdiri atas penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia dan penyelenggara sertifikasi elektronik asing. Setiap penyelenggara sertifikasi elektronik harus mendapat pengakuan dari menteri komunikasi dan informatika. Dari pihak pemerintah, saat ini terdapat beberapa kementrian/lembaga yang menerbitkan sertifikat elektronik yakni Dirjen Pajak, Lembaga Sandi Negara (BSSN), dan IPTEKnet BPPT.
Jakarta – Humas : Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Prof. Dr. M. Hatta Ali, SH. MH. Dalam segala kesempatan dan pembinaan senantiasa menyampaikan bahwa salah satu persyaratan untuk mewujudkan Court Excellence adalah Pimpinan Pengadilan yang memiliki kualitas / kompetensi dan integritas tinggi. Oleh sebab itu proses pembinaan dan pengawasan serta seleksi Calon Pimpinan Pengadilan pada 4 lingkungan Badan Peradilan harus mendapatkan perhatian yang proporsional.
Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum, Dr. Herri Swantoro, SH. MH. Secara continue dan konsisten menyelenggarakan uji kelayakan atau Fit and Proper test bagi Calon Pimpinan Pengalilan Negeri Kelas IA dan Kelas IA Khusus berdasarkan analisis kebutuhan. Fit and proper test diselenggarakan mulai tanggal, 28 – 31 Januari 2018 dengan mendasarkan pada Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : 48 /KMA/SK/II/2017 Tentang Pola Mutasi dan Promosi Hakim.
Dalam proses fit and proper test peserta ujian dituntut dan harus mendapat nilai layak dan lulus dari profile assessment atau psikotes dan materi ujian : a. Visi , misi , wawasan serta integritas; b. kemampuan teknis hukum ; c. administrasi dan layanan pengadilan ; d. menejerial dan kepemimpinan dan e. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Fit and Proper test diikuti oleh 45 peserta yaitu para Ketua dan mantan Ketua Pengadilan kelas I B, sementara kuota atau formasi yang tersedia sangat terbatas.
Dalam fit and proper test semua peserta wajib melalui tahap profile assessment atau psikotes yang dilakukan oleh pihak eksternal yaitu PPSDM. Menurut PPSDM, Profile Assissmen Psikologi adalah adalah kegiatan terstruktur dan sistematis untuk mengukur dan menganalisa guna mengetahui dan memahami aspek aspek Psikologi dan perilaku seseorang ( kemampuan berfikir, cara kerja, karakter, motivasi dan sejenisnya ) dan membandingkan atau mencocokan dengan persyaratan Psikologi / perilaku pada jabatan tertentu dalam hal ini jabatan Pimpinan Pengadilan Negeri Kelas IA dan IA Khusus.
Materi ujian Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dilakukan oleh Badan Pengawasan. Materi ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat ketaatan dan kepatuhan peserta terhadap prinsip : adil, jujur, arif dan bijaksana, bersikap mandiri, integritas tinggi, tanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati dan professional. Dengan menjiwai nilai atau prinsip universal dan mendasar tersebut diharapkan seorang pemimpim mampu megatakan dan melakukan perbuatan yang benar adalah benar, mampu menyampaikan sejujurnya, melaksanakan dan menerapkan hukum dengan benar sehingga dipercaya, serta memiliki kecerdasan spiritual , moral, akal.
Pada prinsipnya ujian yang sebenarnya sebagai Pimpinan Pengadilan tidak hanya pada seleksi Calon Pimpinan, melainkan pada saat menjalankan sebagai Pimpinan Pengadilan sesuai dengan formasi yang dibutuhkan. Pimpinan pengadilan dituntut untuk memiliki kecerdasan dan integritas tinggi dalam menerapkan prinsip prinsip hukum dan peraturan perundang-undangan serta juga harus memperhatikan nilai-nilai loyalitas, kearifan local / local wisdom yang didukung oleh prinsip independensi.
Menejemen dan leadership dimaksudkan untuk memperoleh informasi bahwa peserta mengerti dan memahami administrasi dan berbagai layanan yang dilakukan pengadilan, karena setelah dinyatakan lulus akan ditugaskan untuk memimpin dan mengelola Pengadilan. Seorang pemimpin yang diharapkan adalah Pemimpin yang mengerti prinsip organisasi dan menejemen. Pimpinan pengadilan harus menguasai administrasi perkara , umum, keuangan dan kepegawaian serta Teknologi Informasi.
Pemimpin yang memahami prinsip menejemen akan mampu membuat perencanaan yang baik dan relevan, baik sarana maupun prasarana, mampu menggerakkan semua pegawai atau staf untuk meningkatkan kinerja, mampu menginstruksikan dan menerapkan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan jabatan dan job description , mampu menyusun laporan, mampu melakukan pengawasan dan mengevaluasi kinerja serta memberikan contoh disiplin dan ketauladanan atau role model yang baik. Pemimpin yang baik tidak mudah mengeluh dan mohon petunjuk tetapi akan senantiasa belajar dan selalu mengutamakan prinsip kehati-hatian, baik dalam ucapan perbuatan serta dalam memutuskan segala sesuatu.
Pimpinan pengadilan merupakan pimpinan yang khas dan berbeda dengan organisasi / institusi yang lain. Pimpinan pengadilan juga dituntut menguasai dan terampil berbagai teknis yuridis dan praktek hukum yaitu : Hukum pidana umum dan khusus, perdata umum dan khusus, hukum acara pidana umum dan khusus, hukum acara perdata umum dan khusus , serta tentang konsignasi maupun eksekusi berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Citra dan wibawa Mahkamah Agung akan terwujud jika para Pimpinan memiliki kompetensi dan integritas tinggi. Semua Calon Pimpinan Pengadilan Tingkat Pertama pada semua kelas dan Pimpinan Pengadilan Tingkat Banding lingkungan Badan Peradilan Umum ditentukan melalui fit and proper test demi mewujudkan dan menjunjung tinggi obyektivitas, transparansi dan akuntabilitas.
Kalangan akademisi menilai Peraturan Mahkama Agung (PERMA) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi diperkirakan masih menimbulkan persoalan dalam praktik. Sebaliknya, kalangan aparat penegak hukum, seperti Mahkamah Agung (MA), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan mengaku optimis PERMA Kejahatan Korporasi ini pengadilan ini dapat diterapkan secara efektif.
Mantan Ketua Tim Kelompok Kerja (Pokja) MA Penyusunan PERMA Kejahatan Korporasi Prof Surya Jaya mengatakan meski sejumlah Undang-Undang (UU) sejak lama bisa menjerat korporasi yang diduga melakukan tindak pidana. Namun, selama ini aparat penegak hukum belum memiliki visi, pemahaman, dan pedoman yang sama dalam upaya menjerat korporasi jahat.
Karena itu, terbitnya PERMA Kejahatan Korporasi ini diharapkan dapat mengatasi segala kendala dan kesulitan aparat penegak hukum dalam upaya menjerat korporasi selama ini,” kata Prof Surya Jaya di ruang kerjanya, Selasa (17/1) lalu.
Dia mengaku optimis PERMA Kejahatan Korporasi ini dapat diterapkan secara efektif dalam praktik. Sebab, pengaturan PERMA Kejahatan Korporasi ini sudah cukup baik guna melengkapi peraturan yang sudah ada dalam upaya menindak korporasi jahat. “Materi PERMA ini sudah pas, jadi saya pikir tidak kendala menerapkan aturan ini. Tinggal butuh komitmen dan pemahaman yang sama saja,” kata dia.
Dia mengingatkan kehadiran PERMA Kejahatan Korporasi ini tidak melulu berorientasi pada penghukuman. Justru, terbitnya PERMA ini untuk memberi kepastian dan perlindungan hukum terhadap korporasi yang baik. Tentu, kehadiran PERMA ini sekaligus mendukung terciptanya prinsip good corporate governance.
“Kalau merasa pengelolaan korporasi itu baik, tidak perlu takut dihukum. Ini hanya guidance (pedoman) agar pengelolaan korporasi menjadi lebih baik dan bisa memberi kontribusi bagi masyarakat dan negara. Jadi, sebenarnya PERMA ini sangat baik bagi korporasi dalam upaya pencegahan,” jelasnya.
Meski begitu, bagaimanapun terhadap korporasi-korporasi “nakal” ini tetap harus dihukum sepanjang bisa dibuktikan actus reus dan mens rea pengurus korporasinya. Namun, mesti diingat bisa saja pengurus korporasi melakukan tindak pidana hanya menguntungkan kepentingan pribadinya, bukan menguntungkan korporasi, maka korporasi tidak bisa dipidana.
“Meski ada teori identifikasi, perbuatan (niat) jahat pengurus otomatis menjadi tanggung jawab korporasi sepanjang ada keterkaitan dan kepentingan korporasi. Ini kan case by case, sehingga dibutuhkan kehati-hatian dan kecermatan aparat penegak hukum untuk menentukan siapa yang sebenarnya paling bertanggung jawab.”
1. Pengantar
Sejak Tahun 2011 melalui Keputusan No. 142/KMA/SK/IX/2011 Tahun 2011, Ketua Mahkamah Agung telah memberlakukan sebuah kebijakan pemberlakuan sistem kamar pada Mahkamah Agung. Dengan sistem kamar ini hakim agung dikelompokan ke dalam lima kamar yaitu perdata, pidana, agama,tata usaha negara dan militer. Hakim agung masing-masing kamar pada dasarnya hanya mengadili perkara-perkara yang termasuk dalam lingkup kewenangan masing-masing kamar. Hakim agung kamar perdata hanya mengadili perkara perdata saja dan hakim agung kamar pidana hanya mengadili perkara pidana saja.Demikian pula hakim agung kamartata usaha negara hanya mengadili perkara tata usaha negara.Pada masa lalu sebelum sistem kamar berlaku, hakim agung lingkungan tata usaha negara juga mengadili perkara-perkara perdata atau majelis hakim agung – lazimnya terdiri atas seorang ketua dan dua orang anggota – yang kesemuanya berasal dari lingkungan peradilan agama dapat mengadili perkara perdata. Dengan system kamar, tidak lagi diperkenankan majelis hakim agung yang kesemuanya berasal dari lingkungan peradilan agama mengadili perkara perdata, tetapi seorang hakim agung dari lingkungan peradilan agama hanya dapat menjadi anggota majelis atau ketua majelis untuk mengadili perkara perdata bersama-sama dengan dua hakim agung lain dalam kamar perdata. Mengapa hakim agung dalam kamar agama masih dibolehkan mengadili perkara perdata didasari oleh pertimbangan bahwa jumlah perkara perdata sangat besar sedangkan jumlah hakim agung dalam kamar perdata masih belum mencukupi untuk mampu mengadili perkara secara tepat waktu sehingga masih memerlukan bantuan tenaga dari kamar lain, yaitu hakim agung kamar agama yang jenis perkara yang diadili masih berdekatan dengan jenis perkara dalam kamar perdata. Demikian pula, hakim agung kamar militer dapat ditugaskan untuk mengadili perkara dalam kamar pidana karena masih terdapat kedekatan jenis perkaranya. Bantuan tenaga untuk kamar perdata dan kamar pidana dari kamar-kamar lain yang jenis perkaranya mirip masih diperlukan karena jumlah perkara kasasi perdata dan pidana yang diajukan ke Mahkamah Agung setiap tahunnya lebih tinggi daripada kamar-kamar lainnya, sehingga jumlah tunggakan perkara dapat ditekan.
Penempatan hakim agung dalam sebuah kamar didasarkan pada keahlian mereka.Keahlian antara lain dapat dilihat dari bidang studi ilmu hukum yang dikaji ketika mengambil program S2 atau S3 atau pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti. Penempatan hakim agung karir yang berasal dari lingkungan peradilan umum ke dalam kamar perdata atau kamar pidana pada dasarnya merupakan diskresi dari Ketua Mahkamah Agung Ketua Mahkamah Agung dengan melihat rekam jejak seorang hakim agung dapat menentukan kamar yang tepat dan sesuai bagi seorang hakim agung. Setiap kamar dipimpin oleh Ketua Kamar yang sebelum sistem kamar diberlakukan disebut juga sebagai Ketua Muda.Meskipun kebijakan pemberlakukan sistem kamar ini secara formal dicanangkan pada tahun 2011, implementasinya dilakukan secara bertahap.
2. Mengapa Perlu Sistem Kamar
Salah satu kritik yang dialamatkan pada Mahkamah Agung olehpara pencari keadilan pada umumnya dan para pemerhati peradilan pada khususnya adalah bahwa putusan-putusan majelis hakim agung dalam perkara-perkara kasasi atau PK yang permasalahan hukumnya sejenis atau serupa ternyata putusannya berbeda. Pada hal Mahkamah Agung adalah pemegang kekuasaan tertinggi kehakiman yang melalui putusan-putusannya diharapkan mampu memberikan arahan atau panduan kepada pengadilan di bawahnya dalam memutus permasalahan hukum. Namun , fungsi ini tidak dapat sepenuhnya dijalankan sehingga muncul ungkapan Mahkamah Agung dengan pelbagai wajah aliran putusan dalam perkara-perkara sejenis. Permasalahan ini disadari oleh pimpinan Mahkamah Agung sehingga upaya untuk mengatasinya menjadi salah satu agenda dalam program pembaruan peradilan sebagaimana tercantum dalam “Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2014.
Terjadinya perbedaan putusan untuk perkara-perkara kasasi yang permasalahan hukumnya sejenis atau serupa dapat terjadi karena banyaknya jumlah perkara kasasi yang diajukan kepada Mahkamah Agung sehingga perkara-perkara itu harus diadili oleh beberapa majelis hakim agung. Tiap majelis hakim agung yang biasanya terdiri atas seorang ketua dan dua orang anggota majelis bekerja secara terpisah atau mandiri. Berbeda dengan Mahkamah Konstitusi yang tiap perkara diadili oleh pleno hakim konstitusi sehingga keteraturan dan konsistensi relatif dapat dijaga. Oleh sebab itu, adalah alamiah jika antara satu majelis dengan majelis lainnya pada Mahkamah Agung dalam mengadili perkara-perkara yang sejenis ternyata putusannya berbeda karena praktik hukum pada dasarnya mengandalkan interpretasi terhadap norma hukum dan fakta yang terungkap dalam persidangan. Selain itu, rumusan ketentuan atau norma undang-undang yang sering ambigu sehingga menimbulkan multi interpretasi atau adanya pertentangan antar norma, atau norma yang tidak tuntas telah mendorong lahirnya pelbagai putusan di pelbagai tingkatan yang tidak mencerminkan konsistensi atau keteraturan hukum yang tentunya mengecewakan para pencari keadilan.
Meskipun perbedaan putusan hakim agung dapat terjadi karena faktor alamiah interpretasi, ketidakjelasan rumusan norma atau pertentangan antar norma dalam peraturan perundang-undangan, kenyataan ini tidak dapat dibenarkan dari sudut ilmu hukum sebab hukum yang mengatur masyarakat semestinya memiliki karakter yang sama dengan hukum fisika, yaitu mengandung sebuah keteraturan atau keajegan atau kepastian. Adalah menjadi tugas hakim untuk membuat jelas norma yang tidak jelas melalui putusan atas sebuah perkara. Hukum fisika selalu memperlihatkan adanya keteraturan dan kepastian, misalkan air jika dipanaskan pasti mendidih dan menguap atau air jika mencapai derajad terendah tertentu pasti membeku. Dimana pun dan kapan pun, air akan memperlihatkan sifat-sifat seperti itu. Hukum yang mengatur masyarakat atau perilaku subjek hukum semestinya juga memiliki sifat keteraturan, keajegan dan kepastian itu. Misalkan, jika asas hukum mengatakan bahwa setiap pembeli benda tidak bergerak yang beriktikad baik wajib memperoleh perlindungan hukum, walaupun ternyata belakangan diketahui bahwa penjual bukan pihak yang berhak atas benda yang diperjual belikan, maka semua majelis hakim dalam berbagai tingkat peradilan wajib menerapkan asas ini dalam mengadili perkara-perkara yang salah satu atau lebih pihaknya dianggap sebagai pembeli beriktikad baik. Adalah menjadi tugas majelis hakim agung untuk mengoreksi atau memperbaiki putusan hakim bawahan jika ternyata putusan hakim bawahan telah melanggar asas hukum perlindungan terhadap pembeli beriktikad baik.Sebaliknya, jika dalam sebuah perkara pembeli beriktikad baik dilindungi tetapi dalam perkara lainnya pembeli beriktikad baik tidak memperoleh perlindungan hukum, maka dalam situasi seperti ini terjadi ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, atau ketidakteraturan hukum sebaliknya yang terjadi adalah kekacauan hukum.
Di dalam tradisi “common law” keteraturan, keajegan, keadilan dan kepastian hukum dibangun dengan merujuk prinsip stare decisis yaitu “like cases should be decided alike” (perkara yang sejenis atau mirip harus diputus dengan putusan yang mirip pula). Berdasarkan prinsip stare decisis, hakim dalam mengadili sebuah perkara harus mempedomani precedent, yaitu putusan hakim yang lebih tinggi yang telah membuat putusan atas kasus yang serupa pada masa lalu. Meskipun sistem hukum Indonesia tidak menganut doktrin stare decisis tetapi terjadinya perbedaan putusan dalam perkara-perkara yang mirip atau serupa tidak dapat dibenarkan pula karena hal itu bertentangan dengan rasa keadilan, kepastian hukum dan keteraturan hukum. Di dalam sistem hukum Eropa Kontinental, dikenal konsep yang disebut “legal uniformity” (kesatuan hukum). Sistem Peradilan Indonesia yang merupakan penganut sistem hukum Eropa Kontinental tentu harus pula membangun kesatuan hukum agar hukum Indonesia, khususnya praktik peradilan Indonesia menghasilkan putusan yang konsisten atau teratur sehingga rasa keadilan dan kepastian hukum dapat mewujud.
3. Rapat Pleno Kamar: Forum Menyatukan Pandangan Hukum Para Hakim Agung
Sejak pemberlakuan sistem kamar pada Mahkamah Agung, masing-masing kamar secara periodik menyelenggarakan rapat pleno kamar.Rapat pleno kamar berfungsi sebagai forum bagi para hakim agung untuk membahas penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum yang belum ada kesamaan pendapat di antara para hakim agung.Di dalam rapat pleno ini, para hakim agung berdebat atau adu pendapat untuk mencapai kesatuan pendapat atau pandangan hukum tentang penyelesaian sebuah permasalahan hukum. Pada kenyataannya adalah tidak mudah bagi para hakim agung menyatukan pendapat. Ketidakmudahan untuk mencapai kesatuan pendapat bersumber dari adanya pandangan bahwa setiap majelis atau bahkan setiap hakim agung yang memeriksa dan memutus perkara pada dasarnya adalah mandiri (independent). Pandangan bahwa hakim adalah mandiri memang mengandung sebuah kebenaran dan keniscayaan, tetapi jika nilai dasar kualitas hakim itu digunakan sebagai dasar untuk penolakan upaya mencapai suatu kesatuan pendapat hukum, maka argumen itu dapat membahayakan upaya mewujudkan kesatuan hukum dalam sistem peradilan Indonesia. Kemandirian hakim mesti diartikan sebagai hakim bebas dari pengaruh lain pada waktu mengadili sebuah perkara. Sebaliknya, perdebatan dalam kamar adalah upaya mencapai kesepakatan pendapat terhadap norma yang masih kabur, penuh multi tafsir, terlalu umum perlu eloborasi, atau pertentangan norma dalam undang-undang. Misalkan, kembali kepada contoh terkait asas hukum bahwa pembeli beriktikad baik harus dilindungi, semua hakim agung atau hakim pada umumnya mengakui asas tersebut karena sudah turun temurun dikuliahkan oleh para dosen di fakultas hukum sejak dulu, tetapi persoalan yang muncul adalah pada detilnya, yaitu apakah kriteria pembeli beriktikad baik. Oleh karena itu, dalam sebuah majelis mungkin saja terdapat kesamaan pendapat dalam hal konsep umum tetapi berbeda pendapat dalam hal elaborasi atau detilnya. Rapat pleno kamar diharapkan dapat menjembatani para hakim agung untuk mencapai kesamaan pendapat tidak saja dalam hal konsep dasar tetapi juga detil atau perwujudan atau eloborasi dari konsep dasar itu. Namun demikian, kekuatan mengikat putusan kamar terhadap setiap hakim agung adalah bersifat moral dan tidak ada konsekuensi hukum apapun, sesuai Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 142/KMA/SK/IX/2011 pada angka 8: ”Putusan Rapat Pleno Kamar sedapat-dapatnya ditaati oleh majelis hakim.”
Ketidakmudahan lain untuk mempersamakan pendapat hakim agung bersumber pada putusan-putusan terdahulu yang tidak dapat diakses dengan mudah melalui website Mahkamah Agung karena tidak semua putusan-putusan terdahulu yang mengandung pandangan hukum berbeda berbeda atas permasalahan hukum yang sama telah diungguh ke dalam website atau tersedia dalam bentuk kopi lunak. Untuk mempersatukan pendapat di antara para hakim agung yang sekarang tentu diperlukan untuk membaca dan memahami “reason” dalam putusan-putusan dari majelis-majelis hakim agung terdahulu, sehingga dengan demikian hakim agung generasi sekarang dapat mengambil sikap atau pandangan atas pandangan yang berbeda di antara para pendahulu. Oleh sebab itu, keberhasilan sistem kamar perlu didukung oleh manajemen peradilan berbasis teknologi. Selain itu, teknologi informasi juga diperlukan untuk mengakses perkembangan terbaru peraturan perundang-undangan dan ringkasan karya-karya atau pandangan hukum para sarjana yang mungkin relevan digunakan untuk menjadi rujukan dalam putusan. Terlepas dari adanya tantangan-tantangan untuk mencapai kesatuan pendapat para hakim agung, sejak pemberlakuan sistem kamar, masing-masing kamar telah menghasilkan kesepakatan tentang kaidah-kaidah hukum atas sejumlah permasalahan hukum yang telah dipublikasikan oleh Sekretariat Kepaniteraan Mahkamah Agung, sehingga hakim bawahan dan masyarakat pencari keadilan atau masyarakat pada umumnya dapat memahami rumusan kaidah hukum hasil rapat kamar. Fakta ini tentunya merupakan sebuah kemajuan dalam kaitan dengan upaya membangun sebuah kesatuan hukum (legal uniformity).
4. Rapat Pleno Antar Kamar
Tantangan bagi sistem peradilan Indonesia menghasilkan kesatuan hukum adalah juga bersumber pada sistem peradilan Indonesia yang mengenal lebih dari satu lingkungan peradilan. Oleh karena itu, tidak jarang permasalahan hukum yang terjadi berada pada titik singgung kewenangan mengadili antara dua lingkungan peradilan, misalkan antara peradilan umum dan peradilan agama terkait budel waris yang telah dijual atau titik singgung antara peradilan umum dan peradilan tata usaha negara terkait sengketa kepemilikan dan keputusan tata usaha negara tentang bukti kepemilikan. Untuk mengatasi permsalahan titik singgung kewenangan antar dua lingkungan peradilan ini, rapat pleno kamar diadakan.
5. Penutup
Terjadinya perbedaan putusan-putusan majelis hakim agung untuk perkara-perkara yang mengandung permasalahan hukum sejenis atau serupa merupakan hambatan bagi terwujudnya keadilan dan kepastian hukum. Sistem kamar merupakan upaya untuk mengatasi hambatan itu sehingga sistem peradilan Indonesia dapat mewujudkan kesatuan hukum. Kesatuan hukum diperlukan karena para pencari keadilan dalam berbagai perkara akan memperoleh penyelesaian yang serupa untuk permasalahan hukum yang serupa sehingga terdapat perlakuan sama. Agar sistem kamar dapat memenuhi fungsinya, diperlukan pula dukungan manajemen perkara yang berbasis teknologi guna mengakses putusan-putusan terdahulu serta perkembangan peraturan perundang-undangan dan ringkasan karya-karya tulis para sarjana. Satuan Kerja di bawah Mahkamah Agung, terutama Pusat Penelitian Pengembangan Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan Pelatihan Hukum dan Peradilan perlu meneliti dan mengkaji pula secara periodik untuk mengetahui sejauhmana kesatuan hukum telah dapat diwujudkan sejak pemberlakuan sistem kamar.